Teknik dan Strategi Menangani Pembelaan Kasus Hukum
Hal-hal yang dilakukan Advokat dalam PERKARA PIDANA
Sebelum perkara dimulai :
- pembelaan merupakan HAM, maka advokat akan memohon penangguhan penahan atau pengalihan jenis penahanan. Hal ini sangat membantu kita untuk menggali keterangan lebih banyak dari clain. Info ini wajib dirahasiakan dan digunakan hanya untuk pembelaan saja.
Setelah perkara dimulai :
- memperlajari surat dakwaan, dengan prinsip tidak ada surat dakwaan yang sempurna.
- Telaah surat dakwaan:
a. apakah sudah sesuai dengan dakwaan
b. perhatikan lokus, waktu terjadinya Tindak Pidana (TP)
- Tentukan sikap apakah akan ada eksepsi atau tidak.
Dalam Persidangan
- advokat memiliki kekuatan yang sama dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
- Advokat bisa meminta pembebasan, keringan hukuman
- Hakim dapat menghukum terdakwa dengan dua alat bukti (surat, saksi, dsb). Barang bukti adalah barang hasil atau alat dalam melakukan kejahatan sehingga tidak sama dengan alat bukti.
- Mengumpulkan alat bukti yang kontra dengan JPU sehingga bisa mengajukan saksi yang meringankan
- Ada larangan dalam ajukan pertanyaan yang bersifat:
a. menjerat kepada terdakwa / saksi. Hal ini bisa kita ajukan keberatan kita.
b. Pertanyaan juga tidak boleh ganda, misal apakah anda melihat terdakwa ke pasar dan jam berapa.
c. Sugestif, misal ada keterangan dari saksi bahwa terdakwa memang ada konflik dengan korban kita mengeluarkan pertanyaan yang menyimpulkan kejadian
d. Pertanyaan yang tidak relevan.
e. Pertanyaan yang tidak sopan
- bahan pertanyaan advokat didapat setelah mendalami surat dakwaan, dengan mengetahui unsur pidana dalam pasal yang didakwakan.
- Pada rekruisitor ada kemungkinan JPU bisa menuntut bebas terdakwa walaupun kemungkinan sangat kecil
- Dalam tuntutan hanya ada satu dakwaan yang dituntut, tidak seperti surat dakwaan yang bisa saja kita memasukaan dakwaan berlapis kepada terdakwa
- Dalam penyusunan pledoi harus memperhatikan gaya bahasa yang menarik, sistematik dan fokus pada perkara. Inti dari peldoi adalah pembelaan dalam khanasah hukum.
- Dalam pennyusunan pledoi jangan terfokus pada satu dakwaan yang ada pada requisitor. Ungkapkan keadaan terdakwa yang bisa meringankan hukuman
- Pada putusan ada upaya hukum yang bisa dilakukan, yakni
a. upaya hukum biasa (banding, kasasi)
b. upaya hukum luar biasa (kasasi demi kepentingan hukum dan PK)
Mengajukan permohonan penangguhan.
- dibutuhkan ketrampilan argumentatif untuk meyakinkan bahwa tersangka bisa koporatif
- menguasai surat dakwaan
Sikap advokat terhadap putusan pengadilan
- pikir-pikir, biasanya digunakan untuk menyikapi putusan yang memberatkan terdakwa, dan merupakan strategi untuk penyusunan memori banding
- menerima
- menolak
STRATEGI dalam PERDATA
- kumpulkan info sebanyak-banyaknya dari klien.
- Telaah duduk perkara klien dengan memperlajari kronologis perkara
- Kumpulkan saksi-saksi dan bukti-bukti pendukung
- Upayakan penyelesaian perkara diluar peradilan karena lebih sederhana, cepat dan murah.
- Biasanya advokat mengeluarkan somasi untuk menjelaskan duduk perkara kepada tergugat, sehingga kedua pihak bisa merundingkan perkara ini
- Penggugat dibebankan untuk membuktikan gugatan, sedang penggugat hanya bersifat defensif
- Dalam pembuatan gugatan advokat harus membuat dengan seksama sehingga tidak ada celah hukum yang dapat ditemui oleh lawan
- Jika ada advokat yang terkesan melambatkan proses persidangan secara tegas kita bisa memohon kepada hakim untuk menegur advokat tersebut atau juga laporkan kepada asosiasi advokat tempat dia bernaung
Senin, 22 Februari 2010
HUKUM PIDANA
Perkembangan Asas Praduga Tak Bersalah
Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) [2] berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law).
Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process tsb. Friedman(1994) menegaskan bahwa, prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau,[3] kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial.
Di sektor kesehatan dan ketenaga kerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar prinsip ”due process of law”. Bahkan, prinsip tsb telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat) Amerika”, yang telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan perkembangan internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat ini.
Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan( the right to remain silent).
Di dalam hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan ”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari tersangka/terdakwa ybs.[4] Kita apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan Prof. Andi Hamzah, yang telah memasukan ketentuan mengenai ”hakim komisaris” atau semacam ”examining judges” di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, yang bertugas mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan wewenang (abuse of power) penyidik dalam menjalankan tugasnya.
Begitu pula, dimasukkan ketentuan di mana penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan supervisi terhadap proses penyidikan oleh penyidik kepolisian; akan tetapi, di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib meminta pertimbangan ”examining judges” untuk memeriksa apakah kasus pidana tertentu yang bersifat berat,sudah memenuhi persyaratan bukti yang kuat untuk diajukan kemuka persidangan.
[5] Bertolak dari KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan pidana yang berlaku telah mengadopsi sistem organisasi piramidal dengan sistem pengawasan berlapis. Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, penuntut umum berada di dalam satu sistem organisasi kementrian kehakiman, dan kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum.
Sistem hukum Acara Pidana Perancis (2000), kurang lebih sama dengan sistem hukum acara pidana di Belanda, hanya sistem hukum pidana Perancis mengadopsi sistem juri sedangkan di dalam sistem hukum acara pidana Belanda tidak digunakan sistem juri.[6]
Menilik perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di atas, tampak persamaan yang mencolok, yaitu lebih mengutamakan perlindungan atas hak individu, bukan hak kolektif(masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka.
Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah.
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya(praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut(non-retroaktif).
Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Rumusan kalimat tsb di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 para 2,Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.
Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah.
Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”!.
Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:
1. hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;
2. hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum ybs;
3. hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;
4. hak untuk diadili yang dihadiri oleh ybs;
5. hak untuk didampingi penasehat hukum jika ybs tidak mampu;
6. hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan ybs;
7. hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh ybs;
8. hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Sejalan dengan Konvenan tsb, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tsb, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum.
Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.
Perkembangan tafsir Asas Praduga Tak Bersalah (APTB) dalam sistem Hukum Acara Belanda dan Perancis.
Di dalam menyikapi asas praduga tak bersalah dan prinsip ”due process of law”, paradigma yang menjiwai penyusunan KUHAPerancis (UU tahun 2000,tertanggal 31 Mei) ternyata lebih maju(progresif) dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan KUHAP Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981).
HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban sekaligus.Pasal 1. butir II, HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: ” The judicial authorities watches over the investigation and guarantee of the victim’s rights during the whole of the criminal procedure”.[7] Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis, menegaskan: ”Any person suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established (perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan umum KUHAP).
Namun pada rumusan berikutnya KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas hukum tsb, sebagaimana disebutkan:
“Measures of constraint that this person can be subjected to are taken by a decision, or under the effective control, of the judicial authority. They must be strictly limited to the needs of the procedure, proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack the dignity of the person”.
Perbedaan perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis dan Belanda, sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara substansiil memiliki makna yang sangat dalam terutama terhadap seseorang yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan munculnya reaksi masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi(Braithwaite, 1989).[8]
Berkaitan dengan pemaknaan tsb, sering timbul diskursus mengenai sejauh mana konsep praduga tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi sehingga dapat memenuhi ekspektasi keadilan baik oleh tersangka/terdakwa maupun oleh masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak yang merasa diperlakukan tidak adil.
Jika dirunut kepada asal mula lahirnya konsep praduga tidak bersalah, maka konsep tsb menganut paradigma (individualistik)[9] perlindungan atas hak dan kepentingan pelaku kejahatan (offender-based protection), dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan ybs (korban ).[10]
Konsep praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tsb tidak menempatkan kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum tsb di atas, sehingga memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”.
Sesungguhnya, Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi mansia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitupula, di dalam Pasal yang sama, telah ditegaskan bahwa, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip ”due process of law”, yang telah lahir dua ratus tahun yang lampau di Inggeris dan dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum Amerika Serikat (Anglo-saxon), justru konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia.
Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip tsb mengandung sifat ’contradictio in terminis” karena selain mengandung prinsip ”fair and impartial trial” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip , ”unfair dan partial trial” terhadap pihak korban kejahatan.
Prinsip ”praduga tak bersalah” sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban fisik dan immateril yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan transnasional.
Rekonseptualisasi tafsir Asas praduga tak bersalah
Merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM Indonesia, tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”, dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak indvidu.
Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi ”aku” dan ”engaku”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.
Analisis tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran, asas praduga tak bersalah, dan prinsip ”due process of law” di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip ”praduga tak bersalah” tsb, maka sepatutnya asas ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht”[11] kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim Strafrecht”.
Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang yang sejalan dengan perubahan paradigma tsb di atas, adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding.
Praduga tsb selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan, dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah memunculkan keyakinan mereka untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel maupun imateriel.
Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi.
Rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah disarankan di atas masuk akal, proporsional, dan sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif (Aristoteles) [12]serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini.
Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan,selain kepada tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 (Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. Dengan UU tsb sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain.[13]
Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan tsb, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi untuk mencegah seseorang tersangka kejahatan serius di dakwa di muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6(enam) tahun. Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan ybs atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tsb kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya.[14]
Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti rugi” bagi pihak yang diirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan.
Undang-undang tentang Perlindungan Saksi Pelapor dan Korban; Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) [2] berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law).
Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process tsb. Friedman(1994) menegaskan bahwa, prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau,[3] kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial.
Di sektor kesehatan dan ketenaga kerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar prinsip ”due process of law”. Bahkan, prinsip tsb telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat) Amerika”, yang telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan perkembangan internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat ini.
Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan( the right to remain silent).
Di dalam hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan ”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari tersangka/terdakwa ybs.[4] Kita apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan Prof. Andi Hamzah, yang telah memasukan ketentuan mengenai ”hakim komisaris” atau semacam ”examining judges” di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, yang bertugas mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan wewenang (abuse of power) penyidik dalam menjalankan tugasnya.
Begitu pula, dimasukkan ketentuan di mana penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan supervisi terhadap proses penyidikan oleh penyidik kepolisian; akan tetapi, di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib meminta pertimbangan ”examining judges” untuk memeriksa apakah kasus pidana tertentu yang bersifat berat,sudah memenuhi persyaratan bukti yang kuat untuk diajukan kemuka persidangan.
[5] Bertolak dari KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan pidana yang berlaku telah mengadopsi sistem organisasi piramidal dengan sistem pengawasan berlapis. Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, penuntut umum berada di dalam satu sistem organisasi kementrian kehakiman, dan kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum.
Sistem hukum Acara Pidana Perancis (2000), kurang lebih sama dengan sistem hukum acara pidana di Belanda, hanya sistem hukum pidana Perancis mengadopsi sistem juri sedangkan di dalam sistem hukum acara pidana Belanda tidak digunakan sistem juri.[6]
Menilik perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di atas, tampak persamaan yang mencolok, yaitu lebih mengutamakan perlindungan atas hak individu, bukan hak kolektif(masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka.
Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah.
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya(praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut(non-retroaktif).
Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP,adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Rumusan kalimat tsb di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 para 2,Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.
Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah.
Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”!.
Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu:
1. hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;
2. hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum ybs;
3. hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;
4. hak untuk diadili yang dihadiri oleh ybs;
5. hak untuk didampingi penasehat hukum jika ybs tidak mampu;
6. hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan ybs;
7. hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh ybs;
8. hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.
Sejalan dengan Konvenan tsb, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tsb, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum.
Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.
Perkembangan tafsir Asas Praduga Tak Bersalah (APTB) dalam sistem Hukum Acara Belanda dan Perancis.
Di dalam menyikapi asas praduga tak bersalah dan prinsip ”due process of law”, paradigma yang menjiwai penyusunan KUHAPerancis (UU tahun 2000,tertanggal 31 Mei) ternyata lebih maju(progresif) dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan KUHAP Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981).
HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban sekaligus.Pasal 1. butir II, HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: ” The judicial authorities watches over the investigation and guarantee of the victim’s rights during the whole of the criminal procedure”.[7] Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis, menegaskan: ”Any person suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established (perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan umum KUHAP).
Namun pada rumusan berikutnya KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas hukum tsb, sebagaimana disebutkan:
“Measures of constraint that this person can be subjected to are taken by a decision, or under the effective control, of the judicial authority. They must be strictly limited to the needs of the procedure, proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack the dignity of the person”.
Perbedaan perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis dan Belanda, sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara substansiil memiliki makna yang sangat dalam terutama terhadap seseorang yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan munculnya reaksi masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi(Braithwaite, 1989).[8]
Berkaitan dengan pemaknaan tsb, sering timbul diskursus mengenai sejauh mana konsep praduga tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi sehingga dapat memenuhi ekspektasi keadilan baik oleh tersangka/terdakwa maupun oleh masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak yang merasa diperlakukan tidak adil.
Jika dirunut kepada asal mula lahirnya konsep praduga tidak bersalah, maka konsep tsb menganut paradigma (individualistik)[9] perlindungan atas hak dan kepentingan pelaku kejahatan (offender-based protection), dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan ybs (korban ).[10]
Konsep praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tsb tidak menempatkan kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum tsb di atas, sehingga memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”.
Sesungguhnya, Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi mansia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitupula, di dalam Pasal yang sama, telah ditegaskan bahwa, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip ”due process of law”, yang telah lahir dua ratus tahun yang lampau di Inggeris dan dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum Amerika Serikat (Anglo-saxon), justru konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia.
Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip tsb mengandung sifat ’contradictio in terminis” karena selain mengandung prinsip ”fair and impartial trial” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip , ”unfair dan partial trial” terhadap pihak korban kejahatan.
Prinsip ”praduga tak bersalah” sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban fisik dan immateril yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan transnasional.
Rekonseptualisasi tafsir Asas praduga tak bersalah
Merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM Indonesia, tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”, dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak indvidu.
Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi ”aku” dan ”engaku”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.
Analisis tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran, asas praduga tak bersalah, dan prinsip ”due process of law” di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip ”praduga tak bersalah” tsb, maka sepatutnya asas ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht”[11] kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim Strafrecht”.
Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang yang sejalan dengan perubahan paradigma tsb di atas, adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding.
Praduga tsb selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan, dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah memunculkan keyakinan mereka untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel maupun imateriel.
Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi.
Rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah disarankan di atas masuk akal, proporsional, dan sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif (Aristoteles) [12]serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini.
Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan,selain kepada tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 (Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. Dengan UU tsb sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain.[13]
Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan tsb, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi untuk mencegah seseorang tersangka kejahatan serius di dakwa di muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6(enam) tahun. Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan ybs atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tsb kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya.[14]
Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti rugi” bagi pihak yang diirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan.
Undang-undang tentang Perlindungan Saksi Pelapor dan Korban; Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
FORMALITAS SURAT GUGATAN
OBSCUR LIBEL
Salah satu yang kerap mengakibatkan suatu gugatan dianggap cacat formil adalah karena dalil-dalil gugatan kabur, artinya gugatan tidak jelas. Kekaburan suatu gugatan atau ketidak jelasan suatu gugatan dapat ditentukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1. Posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum (rechtgrond) dan kejadian yang mendasari gugatan atau ada dasar hukum tetapi tidak menjelaskan fakta kejadian atau sebaliknya. Dalil gugatan yang demikian tentunya tidak memenuhi asal jelas dan tegas (een duidelijke en bepaalde conclusie) sebagaimana diatur pasal 8 Rv.
2. Tidak jelas objek yang disengketakan, seperti tidak menyebut letak lokasi, tidak jelas batas, ukuran dan luasannya dan atau tidak ditemukan objek sengketa. Hal ini sebagaimana diperkuat putusan Mahkamah Agung No. 1149 K/Sip/1975 tanggal 17 April 1971 yang menyatakan "karena suat gugatan tidak menyebut dengan jelas letak tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima".
3. Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri sendiri.
Terkadang untuk menghemat segala sesuatunya, Penggugat dapat melakukan penggabungan atas beberapa pihak yang dianggap sebagai pihak tergugat (akumulasi subjektif) atau menggabungkan bebepa gugatan terhadap seorang tergugat (akumulasi objektif). Meskipun dibenarkan menurut hukum acara, hendaknya sebagai penggugat harus memahami bahwasanya penggabungan boleh dilakukan apabila ada hubungan yang sangat erat dan mendasar antara satu sama lainnya.
Bila penggabungan dilakukan secara campur aduk maka tentunya gugatan akan bertentangan dengan tertib beracara. Sebagai contoh, misalnya menggabungan antara gugatan mengenai wanprestasi menjadi gugatan perbuatan melawan hukum.
4. Terdapat saling pertentangan antara posita dengan petitum.
5. Petitum tidak terinci, tapi hanya berupa kompositur atau ex aequo et bono.
ERROR IN PERSONA
Suatu gugatan dikatakan tidak memenuhi syarat formal apabila mengandung error in persona. Kualifikasi syarat persona dalam suatu gugatan sangatlah penting mengingat pihak yang harus bertanggung jawab atas keugian hukum yang timbul atas suatu perbuatan melanggar hukum. Suatu gugatan dianggap error in persona, apabila :
8. Diskualifikasi In Person.
Penggugat bukanlah persona standi in judicio, jika karena belum dewasa, bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan dan atau dibawah karatele. Atau bisa juga karena tidak mendapat kuasa, baik lisan atau surat kuasa khusus dan atau surat kuasa khusus tidak sah.
2. Gemis Aanhodanig Heid.
Orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat. Misalnya, sebagaimana dimaksud dalam putusan Mahkamah Agung No. 601 K/\sip/1975 tanggal 20 April 1977 yang pada pokoknya menyatakan seorang pengurus yayasan digugat secara pribadi.
3. Plurium Litis Consortium.
Orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap. Sebagai contoh dapat dikemukakan salah satu putusan Mahkamah Agung No. 621 K/ Sip/1975 tanggal 25 Mei 1977 Jo. No 621 K/Sip/1975 yang menyatakan : "ternyata sebagian harta terperkara tidak lagi dikuasai tergugat, tetapi telah menjadi milik pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut harus ikut digugat."
MELANGGAR KOMPETENSI
Bahwasanya setiap penggugat hendaknya memperhatikan syarat formil gugatan yang satu ini yakni syarat kompetensi. Syarat kompetensi ini ada 2 syarat yakni Kompetensi Absolut (absolute competency) dan Kompetensi Relatip (relative competency). Dari 2 syarat kompetensi tersebut jika diuraikan maka masing-masing uraiannya adalah sebagai berikut :
1. Kompetensi Absolut (absolute competency).
Landasan penentuan kompetensi absolut berpatokan kepada pembatasan yurisdiksi badan-badan peradilan. Setiap badan peradilan telah ditentukan sendiri oleh undang-undang batas kewenangan mengadili yang dimilikinya.
Pembatasan yurisdiksi masing-masing badan peradilan dapat mengacu kepada berbagai ketentuan perundang-undang. Salah satu contoh dapat dikemukan putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Maret 1973 dalam putusan Mahkamah Agung No. 613 K/Sip/1992 yang menyatakan :
"gugatan atas penguasaan tanpa harta -harta baitulmal adalah kewenangan ataus yurisprudensi lingkungan peradilan umum, bukan lingkungan peradilan agama sebab yang disengketakan adalah penguasaan tanpa hak, bukan pengurusan harta oleh baitumal"
Contoh lain adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung No 04 K/AG?1975 tanggal 16 Januari 1980 yang pada pokoknya menyatakan :
"sejak berlakunya UU No. 1/1974 Jo. PP No. 9/1975 maka perceraian atas perkawinan yang dilakukan secara Islam menjadi yurisdiksi Peradilan Agama".
Berdasar Pasal 10 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman secara jelas dan tegas menyatakan bahwasanya Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Masing-masing lingkungan peradilan mempunyai bidang yurisdiksi tertentu. Oleh karena itu, suatu gugatan harus tepat diajukan kepada salah satu lingkungan sesuai dengan bidang hukum yang diperkarakan. Apabali batas yurisdiksi dilanggar maka akan mengakibatkan gugatan menjadi cacat dan peradilan yang menerima akan menyatakan diri TIDAK BERWENANG MENGADILI.
Mengenai yurisdiksi tentang arbitrase, saat ini lembaga arbitrase sudah dapat dikatakan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan absolut. Hal ini dapat dilihat dari beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung sebagai berikut :
a. Putusan Mahkamah Agung No. 3179 K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988 :
"Apabila dalam perjanjian terpat klausula arbitrase maka Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan baik dalam konpensi maupun dalam rekonpensi".
b Putusan Mahkamah Agung No. 228 K/ Sip/ 1976 tanggal 30 September 1983 :
"Klausul arbitrase menyangkut kekuasan absolut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian".
2. Kompetensi relatif (relative competency).
Kalau kompetensi absolut didasarkan atas Yurisdiksi mengadili maka komptensi relatif didasarkan atas patokan batas kewenangan mengadili berdasarkan kekuasaan daerah hukum.
Masing-masing badan peradilan dalam suatu lingkungan telah ditetapkan batas-batas wilayah hukumnya. Landasan penentuan kompetensi relatif suatu peradilan merujuk kepada asas-asas yang ditentukan pasal 118 HIR jo 142 Rbg Jo 99 Rv, seperti :
a. Actor Sequatur Forum Rei (forum domicili).
Berdasarkan asas actor sequatur forum rei ini maka telah ditentukan bahwasanya batas kewenangan relatif badan peradilan untuk memeriksa suatu sengketa perdata :
- yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Oleh karena itu agar gugatan memenuhi syarat kompetensi relatif maka gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat. Gugatan menjadi tidak sah jika diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat.
Yang dimaksud tempat tinggal tergugat adalah tempat tinggal yang berdasarkan KTP, Kartu Keluarga atau surat pajak. Perubahan tempat kediaman setelah gugatan diajukan tidak akan mempengaruhi keabsahan gugatan secara relatif. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi kepentingan Penggugat.
b. Actore sequatur Forem rei dengan hak opsi.
Apabila pihak tergugat teridiri dari beberapa orang dan masing-masing bertempat tinggal di beberapa wilayah hukum Pengadilan Negeri yang berlainan maka hukum memberi hak kepada Penggugat untuk memilih salah satu diantara tempat tinggal para tergugat.
Dengan demikian penggugat dapat mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan negeri yang dianggap paling menguntungkan dan atau yang paling memudahkan baginya dalam pengajuan saksi nantinya.
c Actor Sequitur forum Rei tanpa hak opsi.
Kompetensi relatif dalam hal ini hanya berlaku bagi jenis sengketa hutang piutang dimana ada 3 kedudukan yakni pihak debitur, debitur pokok dan penjamin. Dalam hal ini meskipun tergugat terdiri dari beberapa orang serta tinggal diwilayah hukum Pengadilan Negeri yang berlainan maka sudah seharusnya gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal penjamin (guarantor).
d Tempat Tinggal Penggugat.
Ketentuan yang membolehkan gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat merupakan pengecualian asas actor sequatur forum rei. Penggugat dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat sepanjang :
1. tidak diketahui tempat tinggal tergugat,
2. juga tidak diketahu tempat tinggal (diam) sebenarnya.
e Forum Rei Sitae.
Dasar menentukan patokan kompetensi relatif menurut asas forum rei yang diatur pasal 118 a ayat 3 HIR jo Pasal 1435 Rbg dan pasal 99 hur a ayat 8 RV adalah objek sengketa yang terdiri dari barang tidak bergerak (real property/ immavable property). Dalam sengketa yang menyangkut barang tidak bergerak maka gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri ditempat mana barang objek perkara diletakkan.
f Forum rei Sitae dengan hak opsi.
Kalau objek perkara terdiri dari beberapa barang tidak bergerak yang terletak di beberapa daerah hukum Pengadilan negeri maka Penggugat dapat melakukan pilihan, dapat mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan negeri yang dianggap paling menguntungkan.
g Domisili pilihan.
Mengenai domisili pilihan, penerapannya berpegang kepada ketentuan pasal 118 a. 4 HIR jo Pasal 142 Rbg jo. Pasal 99 a. 6 Rv yang mana atas ketentuan tersebut menyatakan bahwa kesepatan atas domisili pihan yang dituangkan dalam suatu perjanjian bersifat alternatif yang artinya dapat diajukan ke pengadilan sesuai dengan domisili yang disepakati. Namun demikian tetap memberi hak bagi Penggugat untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan negeri tempat tinggal tergugat. Jadi singkatnya, domisili pilihan, tidak mutlak menyingkirkan patokan actor sequatur forum rei.
SET ASIDE
Salah satu faktor formalitas suatu gugatan yang sering dilupakan oleh Penggugat adalah faktor set aside, seperti :
1. Apa yang digugat sesungguhnya sudah dipenuhi,
2. Sudah dihapuskan sendiri oleh penggugat,
3. Sudah melepaskan diri, misal penggugat pada waktu terbukanya harta warisan menolak sebagai ahli waris.
4. Faktor lewat waktu (daluwarsa)
ke-4 faktor set aside diatas tidak selalu harus dipenuhi keseluruhannya. Jika salah satu faktor set aside di atas terdapat dalam gugatan maka hal itu sudah cukup menjadi celah gugatan untuk dapat dibatalkan oleh lawan.
REI JUDICATA DEDUCTAE
Salah satu formalitas dari suatu gugatan dapat dilihat dari apa yang digugat tersebut masih tergantung pada pemeriksaan dalam proses peradilan atau tidak (rei judicata deductae). Secara jelasnya indikator apakah gugatan tersebut cacat secara formalitas atau tidak dilihat dari apakah perkara yang digugat tersebut sudah pernah diajukan dan belum diputus oleh pengadilan. Kalau sudah diproses dipengadilan, apakah prosesnya masih berlangsung pada tingkat banding atau kasasi.
Jika jawabannya ternyata proses perkaranya masih disidangkan maka apa yang digugat tersebut masih tergantung (aanhanging geding) sehingga dengan demikian gugatan harus dibatalkan demi hukum.
GUGATAN PREMATUR
Suatu gugatan dikatakan prematur karena secara hukum ada faktor yang menangguhkan, misal :
o Apa yang hendak digugat belum terbuka karena syarat yang ditentukan Undang-Undang belum terjadi. Contohnya gugatan warisan dikatakan prematur jika si pewaris belum meninggal dunia. Selama si pewaris masih hidup makan tuntutan waris demi hukum harus tertunda.
o Apa yang hendak digugat tertunda oleh faktor syarat yang dijanjikan oleh para pihak. Misal hutang yang belum jatuh tempo tapi sudah ditagihkan.
NEBIS IN IDEM
Nebis in idem lazim disebut execeptio rei judicatae atau gewijsde zaak. Permasalahan nebis in idem ini diatur dalam pasal 1917 KUHPerdata. Secara hukum, suatu gugatan dapat dikatakan nebis in idem bilamana :
- apa yang digugat/ diperkarakan sudah pernah diperkarakan,
dan telah ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan bersifat positip seprti menolak gugatan atau mengabulkan. Dengan demikian putusan tersebut sudah litis finiri opportet. Kalau putusannya masih bersifat negatif, tidak mengakibatkan nebis in idem. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1979 dalam putusan kasasi no. 878 k/ Sip/ 1977 yang menyatakan, "antara perkara ini dengan perkara yang diputus oleh Pengadilan Tinggi tidak terjadi nebis in idem, sebab putusan Pengadilan Tinggi menyatakan gugatan tidak dapat diterima oleh karena ada pihak yang tidak diikutsertakan sehingga masih terbuka kemungkinan untuk menggugat lagi".
- Objek sama,
- Subjek sama,
- Materi pokok yang sama
WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM ... APA BEDANYA ?
Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum.
Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum (genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri.
Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah :
1. Sumber;
Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata :
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang."
Wanprestasi terjadi karena debitur (yang dibebani kewajiban) tidak memenuhi isi perjanjian yang disepakati, seperti :
a. tidak dipenuhinya prestasi sama sekali,
b. tidak tepat waktu dipenuhinya prestasi,
c. tidak layak memenuhi prestasi yang dijanjiakan,
Perbuatan melawan hukum lahir karena undang-undang sendiri menentukan. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUHPerdata :
"Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang".
Artinya, perbuatan melawan hukum semata-mata berasal dari undang-undang, bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan perbuatan melawan hukum merupakan akibat perbuatan manusia yang ditentukan sendiri oleh undang-undang.
Ada 2 kriteria perbuatan melawan hukum yang merupakan akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum (rechtmagitg, lawfull) atau yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatig, unlawfull). Dari 2 kriteria tersebut, kita akan mendapatkan apakah bentuk perbuatan melawan hukum tersebut berupa pelanggaran pidana (factum delictum), kesalahan perdata (law of tort) atau betindih sekaligus delik pidana dengan kesalahan perdata. Dalam hal terdapat kedua kesalahan (delik pidana sekaligus kesalahan perdata) maka sekaligus pula dapat dituntut hukuman pidana dan pertanggung jawaban perdata (civil liability).
2. Timbulnya hak menuntut.
Pada wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti Pernyataan lalai (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu” atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan. Hal ini diperkuat yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan :
“apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur”.
Dalam perbuatan melawan hukum, hak menuntut dapat dilakukan tanpa diperlukan somasi. Sekali timbul perbuatan melawan hukum, saat itu juga pihak yang dirugikan langsung dapat menuntutnya (action, claim, rechtvordering).
3. Tuntutan ganti rugi (compensation, indemnification)
Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadi kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 KUHPerdata, “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya”.
Pasal 1246 KUHPerdata menyatakan, “biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).
Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas.
Sementara, dalam perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan pasal 1265 KUHPerdata, tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya, tidak perlu perincian. Dengan demikian, tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand).
Meskipun tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti :
Putusan Mahkamah Agung No. 196 K/ Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976 menyatakan “besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”.
Putusan Mahkamah Agung No. 1226 K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978, menyatakan, “soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.
Perbedaan Antara Gugatan Dan Permohonan
Dalam lingkungan peradilan Indonesia dikenal dua sifat atau corak mengajukan permintaan pemeriksaan perkara kepada pengadilan. Yang pertama disebut "permohonan". Yang kedua disebut "gugatan". Dalam bahasa sehari-hari lazim disebut gugatan sehingga dikenal oleh masyarakat "gugat permohonan" dan "gugat biasa".
Dalam postingan ini saya mencoba menjawab pertanyaan yang paling sering diajukan oleh adik-adik mahasiswa tentang permasalahan sistem gugatan.
Sistem gugatan disebut juga "stelsel gugatan". Maksudnya bagaimana cara memasukkan permintaan pemeriksaan perkara kepada Pengadilan agar permintaan dapat diterima pihak pengadilan. Tidak sembarangan cara memasukkan permintaan pemeriksaan perkara. Harus dituruti tata cara yang ditentukan undang-undang. Dalam sejarah peradilan di Indonesia, dikenal 2 sistem gugatan. Yang satu disebut sistem dagvaarding dan yang satu lagi disebut sistem "permohonan".
Dagvaarding.
Sistem pemasukan perkara secara dagvaarding diatur dalam Pasa 1 RV (Reglement of de Rechtsvordering Staatblaad 1847 – 52 Jo. 1849 – 61 dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai reglement acara perdata). Dalam stelsel dagvaarding, gugatan diberitahu oleh seorang juru sita atas nama penggugat kepada tergugat. Juru sita langsung menyampaikan panggilan agar tergugat datang menghadap hakim untuk diperiksa perkaranya dalam suatu proses perdata.
Permohonan.
Sistem penyampaian gugatan dengan cara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang berisi "permintaan" agar pengadilan memanggil penggugat serta pihak yang digugat untuk datang menghadap di sidang pengadilan untuk memeriksa sengketa yang diperkarakan penggugat terhadap tergugat, sebagaimana yang diuraikan dalam surat gugatan.
Salah satu yang kerap mengakibatkan suatu gugatan dianggap cacat formil adalah karena dalil-dalil gugatan kabur, artinya gugatan tidak jelas. Kekaburan suatu gugatan atau ketidak jelasan suatu gugatan dapat ditentukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1. Posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum (rechtgrond) dan kejadian yang mendasari gugatan atau ada dasar hukum tetapi tidak menjelaskan fakta kejadian atau sebaliknya. Dalil gugatan yang demikian tentunya tidak memenuhi asal jelas dan tegas (een duidelijke en bepaalde conclusie) sebagaimana diatur pasal 8 Rv.
2. Tidak jelas objek yang disengketakan, seperti tidak menyebut letak lokasi, tidak jelas batas, ukuran dan luasannya dan atau tidak ditemukan objek sengketa. Hal ini sebagaimana diperkuat putusan Mahkamah Agung No. 1149 K/Sip/1975 tanggal 17 April 1971 yang menyatakan "karena suat gugatan tidak menyebut dengan jelas letak tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima".
3. Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri sendiri.
Terkadang untuk menghemat segala sesuatunya, Penggugat dapat melakukan penggabungan atas beberapa pihak yang dianggap sebagai pihak tergugat (akumulasi subjektif) atau menggabungkan bebepa gugatan terhadap seorang tergugat (akumulasi objektif). Meskipun dibenarkan menurut hukum acara, hendaknya sebagai penggugat harus memahami bahwasanya penggabungan boleh dilakukan apabila ada hubungan yang sangat erat dan mendasar antara satu sama lainnya.
Bila penggabungan dilakukan secara campur aduk maka tentunya gugatan akan bertentangan dengan tertib beracara. Sebagai contoh, misalnya menggabungan antara gugatan mengenai wanprestasi menjadi gugatan perbuatan melawan hukum.
4. Terdapat saling pertentangan antara posita dengan petitum.
5. Petitum tidak terinci, tapi hanya berupa kompositur atau ex aequo et bono.
ERROR IN PERSONA
Suatu gugatan dikatakan tidak memenuhi syarat formal apabila mengandung error in persona. Kualifikasi syarat persona dalam suatu gugatan sangatlah penting mengingat pihak yang harus bertanggung jawab atas keugian hukum yang timbul atas suatu perbuatan melanggar hukum. Suatu gugatan dianggap error in persona, apabila :
8. Diskualifikasi In Person.
Penggugat bukanlah persona standi in judicio, jika karena belum dewasa, bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan dan atau dibawah karatele. Atau bisa juga karena tidak mendapat kuasa, baik lisan atau surat kuasa khusus dan atau surat kuasa khusus tidak sah.
2. Gemis Aanhodanig Heid.
Orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat. Misalnya, sebagaimana dimaksud dalam putusan Mahkamah Agung No. 601 K/\sip/1975 tanggal 20 April 1977 yang pada pokoknya menyatakan seorang pengurus yayasan digugat secara pribadi.
3. Plurium Litis Consortium.
Orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap. Sebagai contoh dapat dikemukakan salah satu putusan Mahkamah Agung No. 621 K/ Sip/1975 tanggal 25 Mei 1977 Jo. No 621 K/Sip/1975 yang menyatakan : "ternyata sebagian harta terperkara tidak lagi dikuasai tergugat, tetapi telah menjadi milik pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut harus ikut digugat."
MELANGGAR KOMPETENSI
Bahwasanya setiap penggugat hendaknya memperhatikan syarat formil gugatan yang satu ini yakni syarat kompetensi. Syarat kompetensi ini ada 2 syarat yakni Kompetensi Absolut (absolute competency) dan Kompetensi Relatip (relative competency). Dari 2 syarat kompetensi tersebut jika diuraikan maka masing-masing uraiannya adalah sebagai berikut :
1. Kompetensi Absolut (absolute competency).
Landasan penentuan kompetensi absolut berpatokan kepada pembatasan yurisdiksi badan-badan peradilan. Setiap badan peradilan telah ditentukan sendiri oleh undang-undang batas kewenangan mengadili yang dimilikinya.
Pembatasan yurisdiksi masing-masing badan peradilan dapat mengacu kepada berbagai ketentuan perundang-undang. Salah satu contoh dapat dikemukan putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Maret 1973 dalam putusan Mahkamah Agung No. 613 K/Sip/1992 yang menyatakan :
"gugatan atas penguasaan tanpa harta -harta baitulmal adalah kewenangan ataus yurisprudensi lingkungan peradilan umum, bukan lingkungan peradilan agama sebab yang disengketakan adalah penguasaan tanpa hak, bukan pengurusan harta oleh baitumal"
Contoh lain adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung No 04 K/AG?1975 tanggal 16 Januari 1980 yang pada pokoknya menyatakan :
"sejak berlakunya UU No. 1/1974 Jo. PP No. 9/1975 maka perceraian atas perkawinan yang dilakukan secara Islam menjadi yurisdiksi Peradilan Agama".
Berdasar Pasal 10 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman secara jelas dan tegas menyatakan bahwasanya Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Masing-masing lingkungan peradilan mempunyai bidang yurisdiksi tertentu. Oleh karena itu, suatu gugatan harus tepat diajukan kepada salah satu lingkungan sesuai dengan bidang hukum yang diperkarakan. Apabali batas yurisdiksi dilanggar maka akan mengakibatkan gugatan menjadi cacat dan peradilan yang menerima akan menyatakan diri TIDAK BERWENANG MENGADILI.
Mengenai yurisdiksi tentang arbitrase, saat ini lembaga arbitrase sudah dapat dikatakan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan absolut. Hal ini dapat dilihat dari beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung sebagai berikut :
a. Putusan Mahkamah Agung No. 3179 K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988 :
"Apabila dalam perjanjian terpat klausula arbitrase maka Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan baik dalam konpensi maupun dalam rekonpensi".
b Putusan Mahkamah Agung No. 228 K/ Sip/ 1976 tanggal 30 September 1983 :
"Klausul arbitrase menyangkut kekuasan absolut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian".
2. Kompetensi relatif (relative competency).
Kalau kompetensi absolut didasarkan atas Yurisdiksi mengadili maka komptensi relatif didasarkan atas patokan batas kewenangan mengadili berdasarkan kekuasaan daerah hukum.
Masing-masing badan peradilan dalam suatu lingkungan telah ditetapkan batas-batas wilayah hukumnya. Landasan penentuan kompetensi relatif suatu peradilan merujuk kepada asas-asas yang ditentukan pasal 118 HIR jo 142 Rbg Jo 99 Rv, seperti :
a. Actor Sequatur Forum Rei (forum domicili).
Berdasarkan asas actor sequatur forum rei ini maka telah ditentukan bahwasanya batas kewenangan relatif badan peradilan untuk memeriksa suatu sengketa perdata :
- yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Oleh karena itu agar gugatan memenuhi syarat kompetensi relatif maka gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat. Gugatan menjadi tidak sah jika diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat.
Yang dimaksud tempat tinggal tergugat adalah tempat tinggal yang berdasarkan KTP, Kartu Keluarga atau surat pajak. Perubahan tempat kediaman setelah gugatan diajukan tidak akan mempengaruhi keabsahan gugatan secara relatif. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi kepentingan Penggugat.
b. Actore sequatur Forem rei dengan hak opsi.
Apabila pihak tergugat teridiri dari beberapa orang dan masing-masing bertempat tinggal di beberapa wilayah hukum Pengadilan Negeri yang berlainan maka hukum memberi hak kepada Penggugat untuk memilih salah satu diantara tempat tinggal para tergugat.
Dengan demikian penggugat dapat mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan negeri yang dianggap paling menguntungkan dan atau yang paling memudahkan baginya dalam pengajuan saksi nantinya.
c Actor Sequitur forum Rei tanpa hak opsi.
Kompetensi relatif dalam hal ini hanya berlaku bagi jenis sengketa hutang piutang dimana ada 3 kedudukan yakni pihak debitur, debitur pokok dan penjamin. Dalam hal ini meskipun tergugat terdiri dari beberapa orang serta tinggal diwilayah hukum Pengadilan Negeri yang berlainan maka sudah seharusnya gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal penjamin (guarantor).
d Tempat Tinggal Penggugat.
Ketentuan yang membolehkan gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat merupakan pengecualian asas actor sequatur forum rei. Penggugat dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat sepanjang :
1. tidak diketahui tempat tinggal tergugat,
2. juga tidak diketahu tempat tinggal (diam) sebenarnya.
e Forum Rei Sitae.
Dasar menentukan patokan kompetensi relatif menurut asas forum rei yang diatur pasal 118 a ayat 3 HIR jo Pasal 1435 Rbg dan pasal 99 hur a ayat 8 RV adalah objek sengketa yang terdiri dari barang tidak bergerak (real property/ immavable property). Dalam sengketa yang menyangkut barang tidak bergerak maka gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri ditempat mana barang objek perkara diletakkan.
f Forum rei Sitae dengan hak opsi.
Kalau objek perkara terdiri dari beberapa barang tidak bergerak yang terletak di beberapa daerah hukum Pengadilan negeri maka Penggugat dapat melakukan pilihan, dapat mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan negeri yang dianggap paling menguntungkan.
g Domisili pilihan.
Mengenai domisili pilihan, penerapannya berpegang kepada ketentuan pasal 118 a. 4 HIR jo Pasal 142 Rbg jo. Pasal 99 a. 6 Rv yang mana atas ketentuan tersebut menyatakan bahwa kesepatan atas domisili pihan yang dituangkan dalam suatu perjanjian bersifat alternatif yang artinya dapat diajukan ke pengadilan sesuai dengan domisili yang disepakati. Namun demikian tetap memberi hak bagi Penggugat untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan negeri tempat tinggal tergugat. Jadi singkatnya, domisili pilihan, tidak mutlak menyingkirkan patokan actor sequatur forum rei.
SET ASIDE
Salah satu faktor formalitas suatu gugatan yang sering dilupakan oleh Penggugat adalah faktor set aside, seperti :
1. Apa yang digugat sesungguhnya sudah dipenuhi,
2. Sudah dihapuskan sendiri oleh penggugat,
3. Sudah melepaskan diri, misal penggugat pada waktu terbukanya harta warisan menolak sebagai ahli waris.
4. Faktor lewat waktu (daluwarsa)
ke-4 faktor set aside diatas tidak selalu harus dipenuhi keseluruhannya. Jika salah satu faktor set aside di atas terdapat dalam gugatan maka hal itu sudah cukup menjadi celah gugatan untuk dapat dibatalkan oleh lawan.
REI JUDICATA DEDUCTAE
Salah satu formalitas dari suatu gugatan dapat dilihat dari apa yang digugat tersebut masih tergantung pada pemeriksaan dalam proses peradilan atau tidak (rei judicata deductae). Secara jelasnya indikator apakah gugatan tersebut cacat secara formalitas atau tidak dilihat dari apakah perkara yang digugat tersebut sudah pernah diajukan dan belum diputus oleh pengadilan. Kalau sudah diproses dipengadilan, apakah prosesnya masih berlangsung pada tingkat banding atau kasasi.
Jika jawabannya ternyata proses perkaranya masih disidangkan maka apa yang digugat tersebut masih tergantung (aanhanging geding) sehingga dengan demikian gugatan harus dibatalkan demi hukum.
GUGATAN PREMATUR
Suatu gugatan dikatakan prematur karena secara hukum ada faktor yang menangguhkan, misal :
o Apa yang hendak digugat belum terbuka karena syarat yang ditentukan Undang-Undang belum terjadi. Contohnya gugatan warisan dikatakan prematur jika si pewaris belum meninggal dunia. Selama si pewaris masih hidup makan tuntutan waris demi hukum harus tertunda.
o Apa yang hendak digugat tertunda oleh faktor syarat yang dijanjikan oleh para pihak. Misal hutang yang belum jatuh tempo tapi sudah ditagihkan.
NEBIS IN IDEM
Nebis in idem lazim disebut execeptio rei judicatae atau gewijsde zaak. Permasalahan nebis in idem ini diatur dalam pasal 1917 KUHPerdata. Secara hukum, suatu gugatan dapat dikatakan nebis in idem bilamana :
- apa yang digugat/ diperkarakan sudah pernah diperkarakan,
dan telah ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan bersifat positip seprti menolak gugatan atau mengabulkan. Dengan demikian putusan tersebut sudah litis finiri opportet. Kalau putusannya masih bersifat negatif, tidak mengakibatkan nebis in idem. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1979 dalam putusan kasasi no. 878 k/ Sip/ 1977 yang menyatakan, "antara perkara ini dengan perkara yang diputus oleh Pengadilan Tinggi tidak terjadi nebis in idem, sebab putusan Pengadilan Tinggi menyatakan gugatan tidak dapat diterima oleh karena ada pihak yang tidak diikutsertakan sehingga masih terbuka kemungkinan untuk menggugat lagi".
- Objek sama,
- Subjek sama,
- Materi pokok yang sama
WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM ... APA BEDANYA ?
Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum.
Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum (genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri.
Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah :
1. Sumber;
Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata :
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang."
Wanprestasi terjadi karena debitur (yang dibebani kewajiban) tidak memenuhi isi perjanjian yang disepakati, seperti :
a. tidak dipenuhinya prestasi sama sekali,
b. tidak tepat waktu dipenuhinya prestasi,
c. tidak layak memenuhi prestasi yang dijanjiakan,
Perbuatan melawan hukum lahir karena undang-undang sendiri menentukan. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUHPerdata :
"Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang".
Artinya, perbuatan melawan hukum semata-mata berasal dari undang-undang, bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan perbuatan melawan hukum merupakan akibat perbuatan manusia yang ditentukan sendiri oleh undang-undang.
Ada 2 kriteria perbuatan melawan hukum yang merupakan akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum (rechtmagitg, lawfull) atau yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatig, unlawfull). Dari 2 kriteria tersebut, kita akan mendapatkan apakah bentuk perbuatan melawan hukum tersebut berupa pelanggaran pidana (factum delictum), kesalahan perdata (law of tort) atau betindih sekaligus delik pidana dengan kesalahan perdata. Dalam hal terdapat kedua kesalahan (delik pidana sekaligus kesalahan perdata) maka sekaligus pula dapat dituntut hukuman pidana dan pertanggung jawaban perdata (civil liability).
2. Timbulnya hak menuntut.
Pada wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti Pernyataan lalai (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu” atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan. Hal ini diperkuat yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan :
“apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur”.
Dalam perbuatan melawan hukum, hak menuntut dapat dilakukan tanpa diperlukan somasi. Sekali timbul perbuatan melawan hukum, saat itu juga pihak yang dirugikan langsung dapat menuntutnya (action, claim, rechtvordering).
3. Tuntutan ganti rugi (compensation, indemnification)
Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadi kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 KUHPerdata, “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya”.
Pasal 1246 KUHPerdata menyatakan, “biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).
Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas.
Sementara, dalam perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan pasal 1265 KUHPerdata, tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya, tidak perlu perincian. Dengan demikian, tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand).
Meskipun tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti :
Putusan Mahkamah Agung No. 196 K/ Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976 menyatakan “besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”.
Putusan Mahkamah Agung No. 1226 K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978, menyatakan, “soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.
Perbedaan Antara Gugatan Dan Permohonan
Dalam lingkungan peradilan Indonesia dikenal dua sifat atau corak mengajukan permintaan pemeriksaan perkara kepada pengadilan. Yang pertama disebut "permohonan". Yang kedua disebut "gugatan". Dalam bahasa sehari-hari lazim disebut gugatan sehingga dikenal oleh masyarakat "gugat permohonan" dan "gugat biasa".
Dalam postingan ini saya mencoba menjawab pertanyaan yang paling sering diajukan oleh adik-adik mahasiswa tentang permasalahan sistem gugatan.
Sistem gugatan disebut juga "stelsel gugatan". Maksudnya bagaimana cara memasukkan permintaan pemeriksaan perkara kepada Pengadilan agar permintaan dapat diterima pihak pengadilan. Tidak sembarangan cara memasukkan permintaan pemeriksaan perkara. Harus dituruti tata cara yang ditentukan undang-undang. Dalam sejarah peradilan di Indonesia, dikenal 2 sistem gugatan. Yang satu disebut sistem dagvaarding dan yang satu lagi disebut sistem "permohonan".
Dagvaarding.
Sistem pemasukan perkara secara dagvaarding diatur dalam Pasa 1 RV (Reglement of de Rechtsvordering Staatblaad 1847 – 52 Jo. 1849 – 61 dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai reglement acara perdata). Dalam stelsel dagvaarding, gugatan diberitahu oleh seorang juru sita atas nama penggugat kepada tergugat. Juru sita langsung menyampaikan panggilan agar tergugat datang menghadap hakim untuk diperiksa perkaranya dalam suatu proses perdata.
Permohonan.
Sistem penyampaian gugatan dengan cara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang berisi "permintaan" agar pengadilan memanggil penggugat serta pihak yang digugat untuk datang menghadap di sidang pengadilan untuk memeriksa sengketa yang diperkarakan penggugat terhadap tergugat, sebagaimana yang diuraikan dalam surat gugatan.
Langganan:
Postingan (Atom)