Senin, 22 Februari 2010

FORMALITAS SURAT GUGATAN

OBSCUR LIBEL

Salah satu yang kerap mengakibatkan suatu gugatan dianggap cacat formil adalah karena dalil-dalil gugatan kabur, artinya gugatan tidak jelas. Kekaburan suatu gugatan atau ketidak jelasan suatu gugatan dapat ditentukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

1. Posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum (rechtgrond) dan kejadian yang mendasari gugatan atau ada dasar hukum tetapi tidak menjelaskan fakta kejadian atau sebaliknya. Dalil gugatan yang demikian tentunya tidak memenuhi asal jelas dan tegas (een duidelijke en bepaalde conclusie) sebagaimana diatur pasal 8 Rv.
2. Tidak jelas objek yang disengketakan, seperti tidak menyebut letak lokasi, tidak jelas batas, ukuran dan luasannya dan atau tidak ditemukan objek sengketa. Hal ini sebagaimana diperkuat putusan Mahkamah Agung No. 1149 K/Sip/1975 tanggal 17 April 1971 yang menyatakan "karena suat gugatan tidak menyebut dengan jelas letak tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima".
3. Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri sendiri.

Terkadang untuk menghemat segala sesuatunya, Penggugat dapat melakukan penggabungan atas beberapa pihak yang dianggap sebagai pihak tergugat (akumulasi subjektif) atau menggabungkan bebepa gugatan terhadap seorang tergugat (akumulasi objektif). Meskipun dibenarkan menurut hukum acara, hendaknya sebagai penggugat harus memahami bahwasanya penggabungan boleh dilakukan apabila ada hubungan yang sangat erat dan mendasar antara satu sama lainnya.

Bila penggabungan dilakukan secara campur aduk maka tentunya gugatan akan bertentangan dengan tertib beracara. Sebagai contoh, misalnya menggabungan antara gugatan mengenai wanprestasi menjadi gugatan perbuatan melawan hukum.

4. Terdapat saling pertentangan antara posita dengan petitum.
5. Petitum tidak terinci, tapi hanya berupa kompositur atau ex aequo et bono.


ERROR IN PERSONA

Suatu gugatan dikatakan tidak memenuhi syarat formal apabila mengandung error in persona. Kualifikasi syarat persona dalam suatu gugatan sangatlah penting mengingat pihak yang harus bertanggung jawab atas keugian hukum yang timbul atas suatu perbuatan melanggar hukum. Suatu gugatan dianggap error in persona, apabila :

8. Diskualifikasi In Person.
Penggugat bukanlah persona standi in judicio, jika karena belum dewasa, bukan orang yang mempunyai hak dan kepentingan dan atau dibawah karatele. Atau bisa juga karena tidak mendapat kuasa, baik lisan atau surat kuasa khusus dan atau surat kuasa khusus tidak sah.

2. Gemis Aanhodanig Heid.
Orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat. Misalnya, sebagaimana dimaksud dalam putusan Mahkamah Agung No. 601 K/\sip/1975 tanggal 20 April 1977 yang pada pokoknya menyatakan seorang pengurus yayasan digugat secara pribadi.

3. Plurium Litis Consortium.
Orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap. Sebagai contoh dapat dikemukakan salah satu putusan Mahkamah Agung No. 621 K/ Sip/1975 tanggal 25 Mei 1977 Jo. No 621 K/Sip/1975 yang menyatakan : "ternyata sebagian harta terperkara tidak lagi dikuasai tergugat, tetapi telah menjadi milik pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut harus ikut digugat."


MELANGGAR KOMPETENSI


Bahwasanya setiap penggugat hendaknya memperhatikan syarat formil gugatan yang satu ini yakni syarat kompetensi. Syarat kompetensi ini ada 2 syarat yakni Kompetensi Absolut (absolute competency) dan Kompetensi Relatip (relative competency). Dari 2 syarat kompetensi tersebut jika diuraikan maka masing-masing uraiannya adalah sebagai berikut :

1. Kompetensi Absolut (absolute competency).
Landasan penentuan kompetensi absolut berpatokan kepada pembatasan yurisdiksi badan-badan peradilan. Setiap badan peradilan telah ditentukan sendiri oleh undang-undang batas kewenangan mengadili yang dimilikinya.

Pembatasan yurisdiksi masing-masing badan peradilan dapat mengacu kepada berbagai ketentuan perundang-undang. Salah satu contoh dapat dikemukan putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Maret 1973 dalam putusan Mahkamah Agung No. 613 K/Sip/1992 yang menyatakan :
"gugatan atas penguasaan tanpa harta -harta baitulmal adalah kewenangan ataus yurisprudensi lingkungan peradilan umum, bukan lingkungan peradilan agama sebab yang disengketakan adalah penguasaan tanpa hak, bukan pengurusan harta oleh baitumal"

Contoh lain adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung No 04 K/AG?1975 tanggal 16 Januari 1980 yang pada pokoknya menyatakan :
"sejak berlakunya UU No. 1/1974 Jo. PP No. 9/1975 maka perceraian atas perkawinan yang dilakukan secara Islam menjadi yurisdiksi Peradilan Agama".

Berdasar Pasal 10 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman secara jelas dan tegas menyatakan bahwasanya Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Masing-masing lingkungan peradilan mempunyai bidang yurisdiksi tertentu. Oleh karena itu, suatu gugatan harus tepat diajukan kepada salah satu lingkungan sesuai dengan bidang hukum yang diperkarakan. Apabali batas yurisdiksi dilanggar maka akan mengakibatkan gugatan menjadi cacat dan peradilan yang menerima akan menyatakan diri TIDAK BERWENANG MENGADILI.


Mengenai yurisdiksi tentang arbitrase, saat ini lembaga arbitrase sudah dapat dikatakan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan absolut. Hal ini dapat dilihat dari beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung sebagai berikut :

a. Putusan Mahkamah Agung No. 3179 K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988 :
"Apabila dalam perjanjian terpat klausula arbitrase maka Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan baik dalam konpensi maupun dalam rekonpensi".
b Putusan Mahkamah Agung No. 228 K/ Sip/ 1976 tanggal 30 September 1983 :
"Klausul arbitrase menyangkut kekuasan absolut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian".


2. Kompetensi relatif (relative competency).
Kalau kompetensi absolut didasarkan atas Yurisdiksi mengadili maka komptensi relatif didasarkan atas patokan batas kewenangan mengadili berdasarkan kekuasaan daerah hukum.

Masing-masing badan peradilan dalam suatu lingkungan telah ditetapkan batas-batas wilayah hukumnya. Landasan penentuan kompetensi relatif suatu peradilan merujuk kepada asas-asas yang ditentukan pasal 118 HIR jo 142 Rbg Jo 99 Rv, seperti :

a. Actor Sequatur Forum Rei (forum domicili).
Berdasarkan asas actor sequatur forum rei ini maka telah ditentukan bahwasanya batas kewenangan relatif badan peradilan untuk memeriksa suatu sengketa perdata :
- yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Oleh karena itu agar gugatan memenuhi syarat kompetensi relatif maka gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat. Gugatan menjadi tidak sah jika diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat.

Yang dimaksud tempat tinggal tergugat adalah tempat tinggal yang berdasarkan KTP, Kartu Keluarga atau surat pajak. Perubahan tempat kediaman setelah gugatan diajukan tidak akan mempengaruhi keabsahan gugatan secara relatif. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi kepentingan Penggugat.

b. Actore sequatur Forem rei dengan hak opsi.
Apabila pihak tergugat teridiri dari beberapa orang dan masing-masing bertempat tinggal di beberapa wilayah hukum Pengadilan Negeri yang berlainan maka hukum memberi hak kepada Penggugat untuk memilih salah satu diantara tempat tinggal para tergugat.

Dengan demikian penggugat dapat mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan negeri yang dianggap paling menguntungkan dan atau yang paling memudahkan baginya dalam pengajuan saksi nantinya.

c Actor Sequitur forum Rei tanpa hak opsi.
Kompetensi relatif dalam hal ini hanya berlaku bagi jenis sengketa hutang piutang dimana ada 3 kedudukan yakni pihak debitur, debitur pokok dan penjamin. Dalam hal ini meskipun tergugat terdiri dari beberapa orang serta tinggal diwilayah hukum Pengadilan Negeri yang berlainan maka sudah seharusnya gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal penjamin (guarantor).

d Tempat Tinggal Penggugat.
Ketentuan yang membolehkan gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat merupakan pengecualian asas actor sequatur forum rei. Penggugat dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat sepanjang :
1. tidak diketahui tempat tinggal tergugat,
2. juga tidak diketahu tempat tinggal (diam) sebenarnya.

e Forum Rei Sitae.
Dasar menentukan patokan kompetensi relatif menurut asas forum rei yang diatur pasal 118 a ayat 3 HIR jo Pasal 1435 Rbg dan pasal 99 hur a ayat 8 RV adalah objek sengketa yang terdiri dari barang tidak bergerak (real property/ immavable property). Dalam sengketa yang menyangkut barang tidak bergerak maka gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri ditempat mana barang objek perkara diletakkan.

f Forum rei Sitae dengan hak opsi.
Kalau objek perkara terdiri dari beberapa barang tidak bergerak yang terletak di beberapa daerah hukum Pengadilan negeri maka Penggugat dapat melakukan pilihan, dapat mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan negeri yang dianggap paling menguntungkan.

g Domisili pilihan.
Mengenai domisili pilihan, penerapannya berpegang kepada ketentuan pasal 118 a. 4 HIR jo Pasal 142 Rbg jo. Pasal 99 a. 6 Rv yang mana atas ketentuan tersebut menyatakan bahwa kesepatan atas domisili pihan yang dituangkan dalam suatu perjanjian bersifat alternatif yang artinya dapat diajukan ke pengadilan sesuai dengan domisili yang disepakati. Namun demikian tetap memberi hak bagi Penggugat untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan negeri tempat tinggal tergugat. Jadi singkatnya, domisili pilihan, tidak mutlak menyingkirkan patokan actor sequatur forum rei.


SET ASIDE

Salah satu faktor formalitas suatu gugatan yang sering dilupakan oleh Penggugat adalah faktor set aside, seperti :
1. Apa yang digugat sesungguhnya sudah dipenuhi,
2. Sudah dihapuskan sendiri oleh penggugat,
3. Sudah melepaskan diri, misal penggugat pada waktu terbukanya harta warisan menolak sebagai ahli waris.
4. Faktor lewat waktu (daluwarsa)

ke-4 faktor set aside diatas tidak selalu harus dipenuhi keseluruhannya. Jika salah satu faktor set aside di atas terdapat dalam gugatan maka hal itu sudah cukup menjadi celah gugatan untuk dapat dibatalkan oleh lawan.

REI JUDICATA DEDUCTAE
Salah satu formalitas dari suatu gugatan dapat dilihat dari apa yang digugat tersebut masih tergantung pada pemeriksaan dalam proses peradilan atau tidak (rei judicata deductae). Secara jelasnya indikator apakah gugatan tersebut cacat secara formalitas atau tidak dilihat dari apakah perkara yang digugat tersebut sudah pernah diajukan dan belum diputus oleh pengadilan. Kalau sudah diproses dipengadilan, apakah prosesnya masih berlangsung pada tingkat banding atau kasasi.

Jika jawabannya ternyata proses perkaranya masih disidangkan maka apa yang digugat tersebut masih tergantung (aanhanging geding) sehingga dengan demikian gugatan harus dibatalkan demi hukum.


GUGATAN PREMATUR

Suatu gugatan dikatakan prematur karena secara hukum ada faktor yang menangguhkan, misal :

o Apa yang hendak digugat belum terbuka karena syarat yang ditentukan Undang-Undang belum terjadi. Contohnya gugatan warisan dikatakan prematur jika si pewaris belum meninggal dunia. Selama si pewaris masih hidup makan tuntutan waris demi hukum harus tertunda.
o Apa yang hendak digugat tertunda oleh faktor syarat yang dijanjikan oleh para pihak. Misal hutang yang belum jatuh tempo tapi sudah ditagihkan.


NEBIS IN IDEM


Nebis in idem lazim disebut execeptio rei judicatae atau gewijsde zaak. Permasalahan nebis in idem ini diatur dalam pasal 1917 KUHPerdata. Secara hukum, suatu gugatan dapat dikatakan nebis in idem bilamana :

- apa yang digugat/ diperkarakan sudah pernah diperkarakan,
dan telah ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan bersifat positip seprti menolak gugatan atau mengabulkan. Dengan demikian putusan tersebut sudah litis finiri opportet. Kalau putusannya masih bersifat negatif, tidak mengakibatkan nebis in idem. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1979 dalam putusan kasasi no. 878 k/ Sip/ 1977 yang menyatakan, "antara perkara ini dengan perkara yang diputus oleh Pengadilan Tinggi tidak terjadi nebis in idem, sebab putusan Pengadilan Tinggi menyatakan gugatan tidak dapat diterima oleh karena ada pihak yang tidak diikutsertakan sehingga masih terbuka kemungkinan untuk menggugat lagi".
- Objek sama,
- Subjek sama,
- Materi pokok yang sama


WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM ... APA BEDANYA ?

Kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita Wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum.
Umumnya mereka beranggapan bahwa wanprestasi merukan bagian dari perbuatan melawan hukum (genus spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri.

Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan prinsipil tersebut adalah :

1. Sumber;

Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata :

“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang."

Wanprestasi terjadi karena debitur (yang dibebani kewajiban) tidak memenuhi isi perjanjian yang disepakati, seperti :

a. tidak dipenuhinya prestasi sama sekali,
b. tidak tepat waktu dipenuhinya prestasi,
c. tidak layak memenuhi prestasi yang dijanjiakan,

Perbuatan melawan hukum lahir karena undang-undang sendiri menentukan. Hal ini sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUHPerdata :

"Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang".

Artinya, perbuatan melawan hukum semata-mata berasal dari undang-undang, bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan perbuatan melawan hukum merupakan akibat perbuatan manusia yang ditentukan sendiri oleh undang-undang.

Ada 2 kriteria perbuatan melawan hukum yang merupakan akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum (rechtmagitg, lawfull) atau yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatig, unlawfull). Dari 2 kriteria tersebut, kita akan mendapatkan apakah bentuk perbuatan melawan hukum tersebut berupa pelanggaran pidana (factum delictum), kesalahan perdata (law of tort) atau betindih sekaligus delik pidana dengan kesalahan perdata. Dalam hal terdapat kedua kesalahan (delik pidana sekaligus kesalahan perdata) maka sekaligus pula dapat dituntut hukuman pidana dan pertanggung jawaban perdata (civil liability).

2. Timbulnya hak menuntut.

Pada wanprestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses, seperti Pernyataan lalai (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu” atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan. Hal ini diperkuat yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan :

“apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur”.

Dalam perbuatan melawan hukum, hak menuntut dapat dilakukan tanpa diperlukan somasi. Sekali timbul perbuatan melawan hukum, saat itu juga pihak yang dirugikan langsung dapat menuntutnya (action, claim, rechtvordering).

3. Tuntutan ganti rugi (compensation, indemnification)

Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadi kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 KUHPerdata, “Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya”.

Pasal 1246 KUHPerdata menyatakan, “biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”. Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).

Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas.

Sementara, dalam perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan pasal 1265 KUHPerdata, tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya, tidak perlu perincian. Dengan demikian, tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand).

Meskipun tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti :

Putusan Mahkamah Agung No. 196 K/ Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976 menyatakan “besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”.

Putusan Mahkamah Agung No. 1226 K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978, menyatakan, “soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.


Perbedaan Antara Gugatan Dan Permohonan

Dalam lingkungan peradilan Indonesia dikenal dua sifat atau corak mengajukan permintaan pemeriksaan perkara kepada pengadilan. Yang pertama disebut "permohonan". Yang kedua disebut "gugatan". Dalam bahasa sehari-hari lazim disebut gugatan sehingga dikenal oleh masyarakat "gugat permohonan" dan "gugat biasa".

Dalam postingan ini saya mencoba menjawab pertanyaan yang paling sering diajukan oleh adik-adik mahasiswa tentang permasalahan sistem gugatan.
Sistem gugatan disebut juga "stelsel gugatan". Maksudnya bagaimana cara memasukkan permintaan pemeriksaan perkara kepada Pengadilan agar permintaan dapat diterima pihak pengadilan. Tidak sembarangan cara memasukkan permintaan pemeriksaan perkara. Harus dituruti tata cara yang ditentukan undang-undang. Dalam sejarah peradilan di Indonesia, dikenal 2 sistem gugatan. Yang satu disebut sistem dagvaarding dan yang satu lagi disebut sistem "permohonan".

Dagvaarding.
Sistem pemasukan perkara secara dagvaarding diatur dalam Pasa 1 RV (Reglement of de Rechtsvordering Staatblaad 1847 – 52 Jo. 1849 – 61 dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai reglement acara perdata). Dalam stelsel dagvaarding, gugatan diberitahu oleh seorang juru sita atas nama penggugat kepada tergugat. Juru sita langsung menyampaikan panggilan agar tergugat datang menghadap hakim untuk diperiksa perkaranya dalam suatu proses perdata.

Permohonan.
Sistem penyampaian gugatan dengan cara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang berisi "permintaan" agar pengadilan memanggil penggugat serta pihak yang digugat untuk datang menghadap di sidang pengadilan untuk memeriksa sengketa yang diperkarakan penggugat terhadap tergugat, sebagaimana yang diuraikan dalam surat gugatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar